Pada konsensus dibicarakan banyak hal yang berhubungan dengan bantuan hidup dasar. Yang dikelompokan menjadi : 1. Epidemiologi dan pengenalan terhadap henti jantung; 2. Jalan nafas dan ventilasi; 3. Kompresi dada; 4. Rangkaian kompresi ventilasi; 5. Posisi pasca resusitasi; 6. Keadaan khusus; 7. Sistem pelayanan medis darurat; 8. Resiko bagi penolong dan korban.
Ringkasan :
· Penolong memulai CPR saat diketahui korban tidak sadar, tidak bergerak dan tidak bernafas.
· Untuk ventilasi dari mulut ke mulut atau menggunakan ventilasi bag-valve-mask dengan udara ruangan atau oksigen, penolong harus mampu memberi nafas dalam satu detik dan dapat melihat pengembangan dada yang terjadi.
· Tingkatkan kompresi pada proses CPR: tekan keras dengan frekuensi 100 kompresi per menit.
· Untuk penolong tunggal pada bayi (kecuali neonatus), anak-anak atau korban dewasa, gunakan rasio tunggal dalam kompresi-ventilasi yaitu 30:2. Jika 2 penolong maka gunakan rasio kompresi-ventilasi 15:2.
· Selama proses CPR, pada pasien dengan jalan nafas yang parah yang menggunakan alat bantu pada jalan nafas seperti tracheal tube, combitube, laryngeal mask airway, maka diberikan ventilasi dengan frekuensi 8-10 kali per menit untuk bayi (kecuali neonatus), anak-anak dan dewasa, tanpa ada jeda selama kompresi dada sambil memberi ventilasi.
EPIDEMIOLOGI DAN PENGENALAN HENTI JANTUNG
Banyak sekali orang yang meninggal dengan cepat akibat henti jantung mendadak, hal ini seringkali berhubungan dengan penyakit jantung koroner. Berikut adalah ringkasan dari inti, faktor resiko, dan intervensi dalam rangka mengurangi resiko.
EPIDEMIOLOGI
Sekitar 400.000-460.000 orang di Amerika dan 700.000 orang di Eropa mengalami henti jantung mendadak setiap tahunnya, dan resusitasi dilakukan pada duapertiga korban ini. Case series dan penelitian Cohort menunjukan variasi yang luas pada insidensi henti jantung, dimana hal ini tergantung dari metode penilaian: 1.5 dari 1000 orang per tahun meninggal dengan surat keterangan kematian. Sedangkan 0.5 dari 1000 orang per tahun meninggal pada saat mendapat pelayanan sistem medis darurat.
Tahun-tahun belakangan ini insidensi fibrilasi ventrikel mengalami penurunan yang signifikan.
PROGNOSIS
Dari semua korban henti jantung yang mendapat pelayanan medis darurat 5-10 % dapat bertahan hidup, diantaranya dengan ventrikel fibrilasi, 15 % bertahan dengan perawatan dirumah sakit. Etiologi dan presentasi dari kematian di dalam rumah sakit berbeda dengan kematian di luar rumah sakit.
Resiko terjadinya henti jantung dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk demografi, genetik, kebiasaan hidup, pola makan, keadaan klinis, anatomis, dan karakteristik terapi.
PENGENALAN
Pengenalan awal adalah kunci untuk melakukan penanganan awal pada henti jantung. Penting untuk mendapatkan metode yang akurat untuk mendiagnosa henti jantung.
Tanda henti jantung
Memeriksa nadi karotis adalah metode yang kurang teliti untuk mengetahui ada atau tidaknya sirkulasi, bagaimanapun juga tidak ada fakta yang menunjukan bahwa dengan memeriksa pergerakan, pernafasan, atau batuk ( sebagai contoh “tanda dari sirkulasi”) secara diagnostik akan lebih unggul. Nafas yang terengah-engah umumnya sering didapatkan pada stadium awal henti jantung.
Rekomendasi terapi
Penolong harus segera memulai CPR jika korban diketahui tidak sadar (tidak responsif), tidak bergerak, dan tidak bernafas. Meskipun si korban berusaha nafas dengan terengah-engah, penolong harus mencurigai adanya henti jantung dan harus segera memulai CPR.
JALAN NAFAS DAN VENTILASI
JALAN NAFAS
Membuka jalan nafas
Lima penelitian prospektif klinis yang mengevaluasi klinis dan radiologis menilai patensi jalan nafas dan satu seri kasus menunjukan bahwa head tilt-chin lift maneuver mudah untuk dikerjakan, aman, dan efektif. Tidak ada penelitian yang menilai teknik rutin finger sweep maneuver dalam membersihkan jalan nafas pada obstruksi jalan nafas.
Rekomendasi terapi
Penolong harus dapat membuka jalan nafas dengan head tilt-chin lift maneuver. Penolong harus melakukan finger sweep maneuver pada pasien yang tidak sadar dengan kecurigaan obstruksi jalan nafas hanya jika benda padat tersebut terlihat di oropharynk.
Alat-alat untuk posisi jalan nafas
Tidak ada petunjuk mengenai peralatan yang dapat digunakan untuk menjaga posisi jalan nafas agar tetap stabil. Collars yang biasa digunakan untuk stabilisasi vertebra servikal dapat mempersulit manajemen jalan nafas dan meningkatkan tekanan intrakranial.
Obstruksi jalan nafas akibat benda asing
Seperti CPR, mengangkat benda asing yang menjadi penyebab obstruksi jalan nafas sangat penting. Pada suatu penelitian disebutkan bahwa metode yang simpel, lebih efektif dan lebih aman adalah dengan mencoba mencari.
Saat ini masih belum jelas metode mana yang harus dilakukan lebih dahulu untuk menyingkirkan benda asing dari jalan nafas. Untuk korban yang sadar, berdasarkan laporan kasus menunjukan lebih sukses mengeluarkan benda asing dari jalan nafas adalah dengan back blow atau pukulan pada punggung, abdominal thrust atau menekan abdomen dan chest thrusts atau tekanan pada dada.
Biasanya, penolong membutuhkan lebih dari satu teknik untuk mengatasi obstruksi jalan nafas ini. Komplikasi yang mengancam jiwa biasanya disebabkan akibat tindakan abdominal thrusts.
Untuk pasien yang tidak sadar, banyak laporan kasus yang menunjukan keberhasilan mengeluarkan benda asing dari jalan nafas dengan menggunakan chest thrust maupun abdominal thrust. Pada satu penelitian trial acak dalam membersihkan jalan nafas pada cadaver dan dua penelitian prospektif pada sukarelawan anestesi menunjukan bahwa tekanan jalan nafas akan lebih tinggi jika dilakukan chest thrusts dibanding abdominal thrust.
Pada satu seri kasus dilaporkan bahwa finger sweep merupakan cara yang efektif untuk mengeluarkan benda asing dari jalan nafas pada dewasa dan anak umur >1 tahun. Empat laporan kasus yang tercatat adalah adanya kekerasan pada mulut si korban atau gigitan pada jari tangan penolong.
Rekomendasi terapi
Chest thrust, back blow, atau abdominal thrust merupakan cara efektif untuk mengeluarkan benda asing dari jalan nafas pada pasien sadar uyakni pasien dewasa dan anak > 1 tahun, meski trauma pernah dilaporkan akibat abdominal thrust. Sampai saat ini tidak ada petunjuk tindakan mana yang harus terlebih dulu dilakukan. Teknik-teknik harus diterapkan menjadi serangkaian yang dilakukan dengan cepat sampai dengan obstruksi teratasi, dan mungkin akan dibutuhkan lebih dari satu teknik. Pasien yang tidak sadar harus mendapatkan resusitasi jantung paru. Finger sweep dapat diterapkan pada pasien yang tidak sadar dengan obstruksi jalan nafas jika material padat yang menyumbat dapat dilihat pada jalan nafas. Hingga saat ini masih sedikit sekali petunjuk untuk terapi rekomendasi bagi pasien obesitas dan wanita hamil yang mengalami obstruksi jalan nafas akibat benda asing.
Ventilasi
Ventilasi mulut ke hidung
Pada sebuah seri kasus disebutkan bahwa ventilasi mulut ke hidung bagi pasien dewasa lebih mudah, lebih aman dan lebih efektif.
Rekomendasi terapi
Ventilasi mulut ke hidung merupakan alternatif yang lebih dapat diterima dibanding ventilasi mulut ke mulut.
Ventilasi mulut ke stoma trachea
Belum ada petunjuk yang menyebutkan bahwa ventilasi dari mulut ke stoma trachea lebih aman dan efektif. Penelitian tunggal crossover pada pasien dengan laringektomi menunjukan bahwa pediatric face mask dapat melekat pada stoma lebih baik dibandingkan mask ventilasi standar.
Rekomendasi terapi
Masih cukup beralasan melakukan pernafasan mulut ke stoma atau menggunakan perekat yang menempel dengan baik disekitar pediatric face mask.
Mengukur volume tidal dan ventilasi
Sangat sedikit petunjuk yang menjelaskan bagaimana pernafasan inisial harus diberikan. Pelajaran dengan menggunakan manikin dan penelitian pada manusia menunjukan jika pada jalan nafas tidak menggunakan alat bantu atau advanced airway (seperti trachea tube, combitube, atau LMA), volume tidal yang 1 liter secara signifikan produksinya lebih banyak pada inflasi gaster dibanding volume tidal yang 500 ml. Penelitian pada pasien anestesi tanpa alat bantu jalan nafas menunjukan bahwa ventilasi dengan 455 ml udara ruangan berhubungan dengan jumlah yang diterima namun secara signifikan mengalami penurunan saturasi oksigen jika dibandingkan dengan 719 ml. Penelitian yang membandingkan volume tidal sebanyak 500 ml dengan 1000 ml yang diberikan pada pasien henti jantung yang menggunakan alat bantu jalan nafas selama mendapat ventilasi mekanik dengan 100% oksigen dengan nilai 12 min-1 . Volume tidal yang lebih kecil berhubungan dengan arterial PCO2 yang lebih tinggi dan terjadi asidosis yang berat.
Laporan yang berisi mengenai seri kasus kecil dan penelitian pada binatang menunjukan bahwa hiperventilasi berhubungan dengan peningkatan tekanan intratoraks, penurunan perfusi cerebral dan koroner dan pada binatang terjadi penurunan sirkulasi balik yang spontan atau return of spontaneous circulation (ROSC). Pada analisis sekunder dari seri kasus yang menyertakan pasien yang menggunakan alat bantu jalan nafas setelah selesai menjalani perawatan henti jantung di rumah sakit, nilai ventilasi >10 min-1 dan waktu inspirasi >1 detik berhubungan dengan ketidaklangsungan hidup. Perhitungan dari probandus binatang yang dibuat menjadi syok berat membutuhkan frekuensi ventilasi dengan 6 kali ventilasi per menit yang berhubungan dengan oksigenasi yang adekuat dan memiliki hemodinamik yang lebih baik dibandingkan mendapat ventilasi 12 kali per menit. Kesimpulannya, volume tidal yang besar serta nilai ventilasi yang besar berhubungan dengan komplikasi, dimana efek yang mengganggu dinilai lebih mudah diterima pada yang volume tidalnya lebih kecil.
Rekomendasi terapi
Untuk ventilasi dari mulut ke mulut dengan udara ekshalasi atau ventilasi bag-valve-mask dengan udara ruangan atau oksigen, beralasan jika memberikan pernafasan tiap kali nafas dengan waktu inspirasi adalah 1 detik sudah dapat mengembangkan dada. Jika sudah menggunakan alat bantu jalan nafas (seperti tracheal tube, combitube, LMA) maka ventilasi pada paru-paru pasien dengan tambahan oksigen harus dapat membuat dada mengembang. Selama melakukan CPR pada pasien yang terpasang alat bantu jalan nafas, sangat beralasan untuk melakukan ventilasi ke paru-paru dengan frekuensi 8-10 kali ventilasi per menit tanpa jeda selama melakukan kompresi dada sambil memberikan ventilasi.
Ventilator mekanik dan ventilator transport otomatis
Penelitian dengan menggunakan tiga manikin yang disimulasikan sebagai pasien henti jantung menunjukan penurunan inflasi gaster dengan tindakan yang manual, aliran yang dibatasi, oksigen dari resusitator jika dibandingkan dengan ventilasi dengan menggunakan bag-valve-mask. Satu penelitian menunjukan seorang pemadam kebakaran yang memberikan ventilasi pada pasien anestesi yang tidak terpasang alat bantu jalan nafas menghasilkan sedikit sekali inflasi pada gaster dan tekanan pada jalan nafas yang rendah ketika diberikan ventilasi dengan tindakan manual, aliran udara yang terbatas, udara oksigen dari resusitator dibandingkan jika menggunakan bag-valve-mask.
Penelitian prospektif Cohort pada pasien yang diintubasi, lebih banyak pada henti jantung, diluar rumah sakit menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan nilai gas darah arteri antara mereka yang mendapat ventilasi dengan ventilator transport otomatis dan ventilasi manual. Dua penelitian laboratorium menunjukan bahwa ventilator transport otomatis lebih aman dan efektif selama melakukan CPR pada pasien dewasa.
Rekomendasi terapi
Masih sedikit data yang mendukung digunakan atau tidak digunakannya tindakan manual, aliran udara terbatas dari resusitator atau menggunakan ventilator transport otomatis selama ventilasi dengan bag-valve-mask dan selama resusitasi pasien dewasa pada henti jantung.
KOMPRESI DADA
Beberapa komponen pada kompresi dada yang dapat meningkatkan keefektifan yaitu: posisi tangan, posisi penolong, posisi korban, kedalaman dan frekuensi dari kompresi, dekompresi, dan siklusnya.
TEKNIK KOMPRESI DADA
POSISI TANGAN
Sedikit sekali petunjuk untuk megetahui posisi tangan yang spesifik untuk melakukan kompresi dada selama CPR pada pasien dewasa. Pada anak-anak yang membutuhkan CPR, kompresi di sepertiga bawah sternum akan meningkatkan tekanan darah lebih banyak dibanding jika dilakukan di tengah sternum.
Penelitian dengan menggunakan manikin pada tenaga medis professional menunjukan peningkatan kualitas kompresi dada saat tangan yang dominan kontak dengan sternum. Jeda yang terjadi antara ventilasi dan kompresi lebih pendek jika tangan diposisikan pada pusat dada.
Rekomendasi terapi
Memungkinkan bagi pasien yang berbaring dan tenaga medis professional untuk memposisikan tumpuan tangan penolong yang dominan dipusat dada pada korban dewasa, dan tangan yang tidak dominan diatas.
FREKUENSI KOMPRESI DADA, KEDALAMAN, DEKOMPRESI DAN SIKLUSNYA
Frekuensi. Jumlah kompresi yang dilakukan permenit adalah ditentukan oleh frekuensi kompresi, rasio kompresi-ventilasi, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan ventilasi mulut ke mulut atau ventilasi bag-valve-mask dan kekuatan serta kelemahan dari penolong. Pada penelitian observasional kebanyakan responden melakukan lebih sedikit kompresi dibanding jumlah yang direkomendasikan. Beberapa studi dengan probandus binatang dengan henti jantung menunjukan bahwa CPR dengan frekuensi yang tinggi (120-150kompresi per menit) meningkatkan hemodinamik tanpa meningkatkan trauma jika dibandingkan dengan standar CPR, dimana pada yang lainnya tidak menunjukan efek. Beberapa penelitian pada binatang menunjukan efek yang lebih dari variable yang berbeda diantaranya adalah dari variable siklus. Pada manusia, CPR dengan frekuensi timggi yaitu 120 kompresi per menit meningkatkan hemodinamik melebihi standar CPR. Pada mekanis CPR pada manusia, bagaimanapun juga, CPR frekuensi tinggi (> 140 kompresi per menit) menunjukan tidak ada perbaikan hemodinamik jika dibandingkan dengan 60 kompresi per menit.
Kedalaman. Pada kedua studi luar dan dalam rumah sakit, dari pengamatan didapatkan kedalaman kompresi yang tidak cukup selama CPR dibandingkan dengan kedalaman yang dianjurkan. Penelitian pada binatang dengan henti jantung menunjukan bahwa kompresi yang lebih dalam berkorelasi dengan peningkatan dari return of spontaneous circulation ( aliran balik sirkulasi spontan) dan 24 jam outcome neurologik jika dibandingkan dengan kedalaman kompresi yang standar.
Dekompresi. Penelitian observasional dan studi pada manikin menunjukan adanya loncatan dada inkomplit yang biasa terjadi selama CPR. Salah satu studi pada binatang, loncatan dada inkomplit secara signifikan berhubungan dengan peningkatan tekanan intratoraks, penurunan aliran balik vena, dan penurunan perfusi serebral dan koroner selama CPR. Pada studi dengan manikin, mengangkat tangan sedikit akan memberikan kesempatan pada dada untuk mengangkat dada dengan penuh.
Siklus. Waktu yang digunakan untuk kompresi dada seharusnya proporsional antara waktu memulai satu siklus kompresi dengan memulai siklus kompresi berikutnya. Aliran darah koroner ditentukan oleh siklus ini (terjadi penurunan aliran darah koroner jika siklus > 50%) dan bagaimana dada mengalami relaksasi setelah dilakukan kompresi. Studi pada binatang yang membandingkan antara siklus 20% dengan siklus 50% selama kompresi dada pada pasien henti jantung menunjukan secara statistik tidak ada perbedaan outcome neurologik selama 24 jam.
Model matematis oleh Thumper mengenai CPR menunjukan secara signifikan perbaikan dari aliran pulmoner, koroner, dan karotis dengan siklus 50% jika dibandingkan dengan siklus relaksasi kompresi dimana kompresi merupakan persentase terbesar pada siklus tersebut. Pada siklius yang berada pada kisaran 20%-50%, perfusi cerebral dan koroner pada binatang mengalami peningkatan dengan rata-rata kompresi dada lebih dari 130-150 kompresi per menit. Pada studi manikin, siklus tidak tergantung pada frekuensi kompresi saat penolong secara progresif meningkatkan kompresi dari 40 sampai dengan 100 kali kompresi permenit.
Rekomendasi terapi
Beralasan untuk penolong dan tenaga medis melakukan kompresi dada bagi korban dewasa dengan frekuensi 100 kali per menit dan untuk menekan sternum paling tidak 4-5 cm. Penolong harus membuat dada dapat mengangkat kembali setelah dilakukan kompresi. Jika terlihat, penolong harus meningkatkan frekuensi penekanan, meski mereka kelelahan, dan pastikan bahwa kelelahan yang dialami tidak mempengaruhi pelaksanaan kompresi dada yang adekuat. Maka digunakan rasio siklus 50%.
Landasan yang kokoh untuk kompresi dada
Kompresi dada menjadi kurang efektif jika dipraktekan pada manikin yang ada diatas alas matras yang dapat mengembalikan tekanan ke atas dibanding dengan manikin yang diletakan diatas lantai.
Rekomendasi terapi
Korban henti jantung harus diletakan pada posisi supine diatas permukaan yang kokoh seperti lantai selama dilakukan kompresi dada untuk mengefektifkan kompresi yang dilakukan.
Proses CPR dibanding hasil
Frekuensi kompresi dan kedalaman pada CPR yang dilakukan oleh responder, tenaga medis dan personil EMS masih belum cukup dibandingkan dengan metode yang direkomendasikan. Frekuensi ventilasi dan durasi lebih tinggi dan lebih panjang dibandingkan dengan yang direkomendasikan. Proses CPR yang buruk menimbulkan ketidakstabilan hemodinamik dan kelangsungan hidup.
Rekomendasi terapi
Instruktur, pelatih, dan agen EMS mengawasi dan memperbaiki proses CPR menjadi lebih baik sesuai dengan yang direkomendasikan mengenai jumlah kompresi dan ventilasi serta kedalamannya.
Teknik kompresi alternatif
CPR pada posisi prone
Enam seri kasus yang menyertakan 22 pasien rumah sakit yang diintubasi tercatat dapat bertahan hidup diantaranya 10 pasien mendapat CPR dengan posisi prone
Rekomendasi terapi
CPR pada pasien dengan posisi prone memungkinkan untuk dilakukan pada pasien yang diintubasi dimana mereka tidak dapat diposisikan supine.
Leg-foot chest compression
Tiga studi dengan manikin menunjukan tidak ada perbedaan dalam kompresi dada, kedalaman, atau frekuensi saat menggunakan leg-foot compression. Dua studi melaporkan bahwa dengan leg-foot compression penolong akan lebih mudah lelah. Dan pada satu studi disebutkan pengembalian pengembangan dada setelah dilakukan kompresi dengan leg-foot compression adalah tidak komplit.
RANGKAIAN KOMPRESI-VENTILASI
Banyak rekomendasi yang menyebutkan rasio kompresi-ventilasi yang spesifik menyeimbangkan antara aliran darah keseluruhan serta kebutuhan oksigen yang diedarkan oleh paru-paru.
Efek ventilasi pada kompresi
Studi pada binatang dimana terjadi kompresi dada yang terhenti akan berhubungan dengan ROSC dan kelangsungan hidup sebaik peningkatan disfungsi miokardial postresuscitation.
Studi observasional dan analisis sekunder dari dua randomized trials menunjukan terhentinya kompresi dada merupakan hal yang sering ditemui. Pada analisis retrospektif pada gelombang ventrikel fibrilasi, gangguan pada CPR berhubungan dengan penurunan kemampuan untuk mengkonversi ventrikel fibrilasi ke ritme yang lain.
Rekomendasi terapi
Penolong harus meminimalkan waktu berhenti pada saat melakukan kompresi dada.
Rasio kompresi-ventilasi selama CPR
Rekomendasi terapi
Sampai saat ini masih sedikit sekali bukti yang menyebutkan rasio ventilasi kompresi yang spesifik yang berhubungan dengan hasil yang membaik pada pasien dengan henti jantung. Untuk meningkatkan jumlah kompresi yang diberikan, meminimalkan waktu yang berhenti dalam melakukan kompresi, dan teknik pengajaran dan pelatihan yang simple dan meningkatkan kemampuan, direkomendasikan rasio kompresi ventilasi single adalah 30:2 untuk penolong tunggal bagi korban bayi, anak-anak, dan dewasa.
Langkah awal dalam melakukan resusitasi adalah meliputi:
- Membuka jalan nafas sambil menilai kebutuhan dalam melakukan resusitasi
- Memberikan 2-5 pernafasan saat memulai resusitasi
- Menyediakan kompresi dan ventilasi dengan rasio 30:2
CPR yang hanya terdiri atas kompresi dada
Tidak ada studi prospektif yang menilai strategi dalam mengimplemetasikan kompresi dada.
Rekomendasi terapi
Bagi penolong yang tidak mengetahui bagaimana cara CPR yang benar dan tenaga penolong yang tidak terlatih atau penolong yang tidak mau melakukan airway dan breathing maneuver harus berusaha semaksimal mungkin dan berharap agar tindakan CPR nya yang hanya terdiri atas kompresi dapat berhasil.
Bagi peneliti harus selalu ada kemauan untuk mengevaluasi efek dari CPR yang hanya terdiri dari tindakan kompresi.
Posisi pasca resusitasi
Tidak ada studi yang mengevaluasi posisi pemulihan pada korban yang tidak sadar dengan pernafasan yang normal. Studi cohort dan randomized trial pada sukarelawan yang normal menunjukan bahwa kompresi pada pembuluh darah dan saraf yang sangat jarang terjadi pada ekstremitas yang umumnya didapatkan pada korban yang lengan bawahnya diletakan didepan tubuh, tetapi bukan hal mudah bagi pasien untuk merubah posisi pasien agar berada pada posisi yang normal.
Rekomendasi terapi
Bagi posisi pasien dewasa yang tidak sadar dengan pernafasan yang normal maka diposisikan pada satu sisi dengan lengan bawah berada di depan badan.
KONDISI KHUSUS
Trauma vertebra servikal
Untuk korban dengan kecurigaan trauma spinal, maka perlu waktu tambahan dalam penanganan untuk menilai pernafasan dan sirkulasi, dan penting untuk memindahkan korban jika ditemukan posisi pasien dengan wajah tertelungkup. Stabilisasi spinal dengan garis lurus adalah metode yang efektif untuk mengurangi resiko kerusakan spinal dimasa mendatang.
Pembukaan jalan nafas
Insidensi trauma vertebra servikal setelah trauma tumpul adalah sekitar 2.4% tetapi terjadi peningkatan jumlah pasien dengan trauma kraniofasial dengan GCS <8. Dalam suatu studi Cohort menunjukan terdapat beberapa segi yang sangat sensitive untuk memprediksi trauma spinal seperti : mekanisme trauma, perubahan status mental, deficit neurologis, bukti intoksikasi, nyeri spinal.
Seluruh airway maneuver dapat merubah spinal. Studi dengan menggunakan cadaver manusia menunjukan bahwa chin lift (baik dengan atau tanpa head tilt) dan jaw thrust berhubungan dengan pergerakan vertebra servikal yang substansional. Meski menggunakan spinal collar atau stabilisasi manual in line (MILS) tetap tidak dapat mencegah terjadinya pergerakan spinal. Studi yang lain menyebutkan aplikasi MILS selama airway maneuver mengurangi pergerakan spinal paling tidak dari level fisiologis. Airway maneuver dapat dilakukan dengan lebih aman bila menggunakan MILS dibanding dengan collars.
Rekomendasi terapi
Menjaga ventilasi dan airway agar adekuat merupakan prioritas dalam menangani pasien dengan kecurigaan trauma spinal. Pada korban dengan kecurigaaan trauma spinal dan obstruksi jalan nafas, maka head tilt, chin lift atau jaw thrust merupakan teknik yang mudah dan efektif dalam membersihkan jalan nafas. Kedua teknik tersebut berhubungan dengan pergerakan vertebra servikal. Menggunakan MILS untuk meminimalkan pergerakan kepala masih cukup beralasan jika tersedia tenaga penolong dalam jumlah banyak dan terlatih.
Korban dengan wajah tertelungkup
Posisi kepala sangat menentukan patensi dari jalan nafas, dan sangat sulit untuk mengecek keadaan pernafasan jika wajah si korban berada pada posisi tertelungkup. Pengecekan yang dilakukan pada posisi berbaring dan dilakukan oleh tenaga terlatih pun tidak selalu akurat meski dilakukan dalam waktu yang direkomendasikan yaitu 10 detik. Apalagi jika waktu yang diperlukan untuk pengecekan pernafasan lebih lama maka akan menunda CPR dan hasil yang didapat pun akan buruk.
Tenggelam
Tenggelam merupakan penyebab tersering kematian di dunia.
CPR untuk korban tenggelam di air
Kompresi dada sangat sulit dilakukan didalam air dan akan membahayakan penolong maupun si korban.
Memindahkan korban tenggelam dari air
Studi pada manusia menunjukan bahwa korban tenggelam tanpa tanda klinis trauma atau deficit neurologis, riwayat menyelam, trauma, atau intoksikasi alcohol biasanya tidak menyebabkan trauma vertebra servikal.
Rekomendasi terapi
Korban tenggelam perlu diangkat dari air, dan segera dilakukan resusitasi. Hanya korban dengan faktor resiko dan tanda klinis trauma atau tanda fokal neurologis harus diberikan resusitasi layaknya orang yang mendapat trauma spinal cord dengan imobilisasi vertebra servikal dan thorak.
RESIKO BAGI KORBAN DAN PENOLONG
Resiko bagi peserta latihan
Manikin yang digunakan untuk latihan harus bersih saat digunakan untuk latihan pernafasan. Maka perlu dibersihkan dengan antiseptic, 30% isopropyl alcohol, 70% alcohol solution, 0,5% sodium hypochlorite paling tidak satu menit sebelum pelatihan.
Resiko bagi responder
Hati-hati jika si korban menderita infeksi yang serius seperti HIV, TBC, HBV, SARS
Resiko bagi korban
Fraktur iga dan trauma lainnya biasa didapatkan maka bagi penolong harus dapat melakukan CPR alternative untuk mencegah terjadinya henti jantung.
Setelah dilakukan resusitasi maka dilakukan penilaian ulang dan evaluasi ulang untuk mengetahui keberhasilan resusitasi.
Jika memungkinkan dapat menggunakan barrier untuk melakukan ventilasi dari mulut ke mulut.
Belum ada tanggapan untuk "Konsensus ILCOR 2005"
Post a Comment