Atresia Ani
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002)
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rectum.
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya
Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu:
1.Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus
2.Membran anus yang menetap
3. Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung
2. Etiologi
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
3. Patofisiologi
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :
1) Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik
2) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
3) Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan
4) Berkaitan dengan sindrom down
5) Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA ANI
A. Pengertian
Atresia Ani / Atresia Rekti adalah ketiadaan atau tertutupnya rectal secara congenital (Dorland, 1998).
Suatu perineum tanpa apertura anal diuraikan sebagai inperforata. Ladd dan Gross (1966) membagi anus inperforata dalam 4 golongan, yaitu:
1. Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus
2. Membran anus menetap
3. Anus inperforata dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum yang buntu
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula, pada bayi wanita yang sering ditemukan fisula rektovaginal (bayi buang air besar lewat vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektobrinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir dikandung kemih atau uretra serta jarang rektoperineal.
A. Pengertian
Atresia Ani / Atresia Rekti adalah ketiadaan atau tertutupnya rectal secara congenital (Dorland, 1998).
Suatu perineum tanpa apertura anal diuraikan sebagai inperforata. Ladd dan Gross (1966) membagi anus inperforata dalam 4 golongan, yaitu:
1. Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus
2. Membran anus menetap
3. Anus inperforata dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum yang buntu
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula, pada bayi wanita yang sering ditemukan fisula rektovaginal (bayi buang air besar lewat vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektobrinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir dikandung kemih atau uretra serta jarang rektoperineal.
B. Pathofisiologi
C. Ganbaran Klinik
Pada sebagian besar anomati ini neonatus ditemukan dengan obstruksi usus. Tanda berikut merupakan indikasi beberapa abnormalitas:
1. Tidak adanya apertura anal
2. Mekonium yang keluar dari suatu orifisium abnormal
3. Muntah dengan abdomen yang kembung
4. Kesukaran defekasi, misalnya dikeluarkannya feses mirip seperti stenosis
Untuk mengetahui kelainan ini secara dini, pada semua bayi baru lahir harus dilakukan colok anus dengan menggunakan termometer yang dimasukkan sampai sepanjang 2 cm ke dalam anus. Atau dapat juga dengan jari kelingking yang memakai sarung tangan. Jika terdapat kelainan, maka termometer atau jari tidak dapat masuk. Bila anus terlihat normal dan penyumbatan terdapat lebih tinggi dari perineum. Gejala akan timbul dalam 24-48 jam setelah lahir berupa perut kembung, muntah berwarna hijau.
artikel disini :http://blog.ilmukeperawatan.com
D. Pemeriksaan Penunjang
1. X-ray, ini menunjukkan adanya gas dalam usus
2. Pewarnaan radiopak dimasukkan kedalam traktus urinarius, misalnya suatu sistouretrogram mikturasi akan memperlihatkan hubungan rektourinarius dan kelainan urinarius
3. Pemeriksaan urin, perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat mekonium
Pada sebagian besar anomati ini neonatus ditemukan dengan obstruksi usus. Tanda berikut merupakan indikasi beberapa abnormalitas:
1. Tidak adanya apertura anal
2. Mekonium yang keluar dari suatu orifisium abnormal
3. Muntah dengan abdomen yang kembung
4. Kesukaran defekasi, misalnya dikeluarkannya feses mirip seperti stenosis
Untuk mengetahui kelainan ini secara dini, pada semua bayi baru lahir harus dilakukan colok anus dengan menggunakan termometer yang dimasukkan sampai sepanjang 2 cm ke dalam anus. Atau dapat juga dengan jari kelingking yang memakai sarung tangan. Jika terdapat kelainan, maka termometer atau jari tidak dapat masuk. Bila anus terlihat normal dan penyumbatan terdapat lebih tinggi dari perineum. Gejala akan timbul dalam 24-48 jam setelah lahir berupa perut kembung, muntah berwarna hijau.
artikel disini :http://blog.ilmukeperawatan.com
D. Pemeriksaan Penunjang
1. X-ray, ini menunjukkan adanya gas dalam usus
2. Pewarnaan radiopak dimasukkan kedalam traktus urinarius, misalnya suatu sistouretrogram mikturasi akan memperlihatkan hubungan rektourinarius dan kelainan urinarius
3. Pemeriksaan urin, perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat mekonium
E. Penatalaksanaan
? Medik:
1. Eksisi membran anal
2. Fistula, yaitu dengan melakukan kolostomi sememtara dan setelah umur 3 bulan dilakukan koreksi sekaligus
? Keperawatan
Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada anaknya dan keadaan tersebut dapat diperbaiki dengan jalan operasi. Operasi akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama hanya dibuatkan anus buatan dan setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahapan ke 2, selain itu perlu diberitahukan perawatan anus buatan dalam menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi. Serta memperhatikan kesehatan bayi.
? Medik:
1. Eksisi membran anal
2. Fistula, yaitu dengan melakukan kolostomi sememtara dan setelah umur 3 bulan dilakukan koreksi sekaligus
? Keperawatan
Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada anaknya dan keadaan tersebut dapat diperbaiki dengan jalan operasi. Operasi akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama hanya dibuatkan anus buatan dan setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahapan ke 2, selain itu perlu diberitahukan perawatan anus buatan dalam menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi. Serta memperhatikan kesehatan bayi.
F. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi BAK b.d Dysuria
2. Gangguan rasa nyaman b.d vistel rektovaginal, Dysuria
3. Resti infeksi b.d feses masuk ke uretra, mikroorganisme masuk saluran kemih
4. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b.d mual, muntah, anoreksia
5. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d trauma jaringan post operasi
6. Resti infeksi b.d perawatan tidak adekuat, trauma jaringan post operasi
7. Resti kerusakan integritas kulit b.d perubahan pola defekasi, pengeluaran tidak terkontrol
1. Gangguan eliminasi BAK b.d Dysuria
2. Gangguan rasa nyaman b.d vistel rektovaginal, Dysuria
3. Resti infeksi b.d feses masuk ke uretra, mikroorganisme masuk saluran kemih
4. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b.d mual, muntah, anoreksia
5. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d trauma jaringan post operasi
6. Resti infeksi b.d perawatan tidak adekuat, trauma jaringan post operasi
7. Resti kerusakan integritas kulit b.d perubahan pola defekasi, pengeluaran tidak terkontrol
G. Path Ways
G. Intervensi
DP Tujuan Intervensi
Gangguan eliminasi BAK b.d vistel rektovaginal, Dysuria
DP Tujuan Intervensi
Gangguan eliminasi BAK b.d vistel rektovaginal, Dysuria
Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d vistel rektovaginal, Dysuria
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b.d mual, muntah, anoreksia
Nyeri b.d trauma jaringan post operasi (Kolostomi)
Resti kerusakan integritas kulit b.d perubahan pola defekasi, pengeluaran tidak terkontrol
Tidak terjadi perubahan pola eliminasi BAK setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan KH:
? Pasien dapat BAK dengan normal
? idak ada perubahan pada jumlah urine
? Pasien dapat BAK dengan normal
? idak ada perubahan pada jumlah urine
Pasien merasa nyaman setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam dengan KH:
? Nyeri berkurang
? Pasien merasa tenang
? Nyeri berkurang
? Pasien merasa tenang
Tidak terjadi kekurangan nutrisi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam dengan KH :
? Pasien tidak mengalami penurunan berat badan
? Turgor pasien baik
? Pasien tidak mual, muntah
? Nafsu makan bertambah
Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 24 jam pertama dengan KH:
? Nyeri berkurang
? Pasien merasa tenang
? Tidak ada perubahan tanda vital
? Pasien tidak mengalami penurunan berat badan
? Turgor pasien baik
? Pasien tidak mual, muntah
? Nafsu makan bertambah
Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 24 jam pertama dengan KH:
? Nyeri berkurang
? Pasien merasa tenang
? Tidak ada perubahan tanda vital
Tidak terjadi kerusakan integritas kulit setalah dilakukan tindakan keperawatan 24 jam pertama dengan KH:
? Mempertahankan integritas kulit
? Tidak terdapat tanda-tanda kerusakan integritas kulit
? Mengindentifisikasi faktor resiko individu • Kaji pola eliminasi BAK pasien
• Awasi pemasukan dan pengeluaran serta karakteristik urine
• Selidiki keluhan kandung kemih penuh
• Awasi/observasi hasil laborat
• Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
? Mempertahankan integritas kulit
? Tidak terdapat tanda-tanda kerusakan integritas kulit
? Mengindentifisikasi faktor resiko individu • Kaji pola eliminasi BAK pasien
• Awasi pemasukan dan pengeluaran serta karakteristik urine
• Selidiki keluhan kandung kemih penuh
• Awasi/observasi hasil laborat
• Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
• kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien
• Ajarkan teknik relaksasi distraksi
• Berikan posisi yang nyaman pada pasien
• Jelaskan penyebab nyeri dan awasi perubahan kejadian
• Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
• Ajarkan teknik relaksasi distraksi
• Berikan posisi yang nyaman pada pasien
• Jelaskan penyebab nyeri dan awasi perubahan kejadian
• Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
• Kaji KU pasien
• Timbang berat badan pasien
• Catat frekuensi mual, muntah pasien
• Catat masukan nutrisi pasien
• Beri motivasi pasien untuk meningkatkan asupan nutrisi
• Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pengaturan menu
• Kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien
• Berikan penjelasan pada pasien tentang nyeri yang terjadi
• Berikan tindakan kenyamanan, yakinkan pada pasien bahwa perubahan posisi tidak menciderai stoma
• Ajarkan teknik relaksasi, distraksi
• Bantu melakukan latihan rentang gerak
• Awasi adanya kekakuan otot abdominal
• Kolaborasi pemberian analgetik
• Timbang berat badan pasien
• Catat frekuensi mual, muntah pasien
• Catat masukan nutrisi pasien
• Beri motivasi pasien untuk meningkatkan asupan nutrisi
• Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pengaturan menu
• Kaji tingkat nyeri yang dirasakan pasien
• Berikan penjelasan pada pasien tentang nyeri yang terjadi
• Berikan tindakan kenyamanan, yakinkan pada pasien bahwa perubahan posisi tidak menciderai stoma
• Ajarkan teknik relaksasi, distraksi
• Bantu melakukan latihan rentang gerak
• Awasi adanya kekakuan otot abdominal
• Kolaborasi pemberian analgetik
• Lihat stoma/area kulit peristomal pada setiap penggantian kantong
• Ukur stoma secara periodik misalnya tia perubahan kantong
• Berikan perlindungan kulit yang efektif
• Kosongkan irigasi dan kebersihan dengan rutin
• Awasi adanya rasa gatal disekitar stoma
• Kolaborasi dengan ahli terapi.
• Ukur stoma secara periodik misalnya tia perubahan kantong
• Berikan perlindungan kulit yang efektif
• Kosongkan irigasi dan kebersihan dengan rutin
• Awasi adanya rasa gatal disekitar stoma
• Kolaborasi dengan ahli terapi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth. (1996). Text book of Medical-Surgical Nursing. EGC. Jakarta.
Doengoes Merillynn. (1999) (Rencana Asuhan Keperawatan). Nursing care plans. Guidelines for planing and documenting patient care. Alih bahasa : I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati. EGC. Jakarta.
Dorland. (1998). Kamus Saku Kedokteran Dorlana. Alih Bahasa: Dyah Nuswantari Ed. 25. Jakarta: EGC
Prince A Sylvia. (1995). (patofisiologi). Clinical Concept. Alih bahasa : Peter Anugrah EGC. Jakarta.
Long, Barbara. C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Terjemahan: Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan. USA: CV Mosby
Doengoes Merillynn. (1999) (Rencana Asuhan Keperawatan). Nursing care plans. Guidelines for planing and documenting patient care. Alih bahasa : I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati. EGC. Jakarta.
Dorland. (1998). Kamus Saku Kedokteran Dorlana. Alih Bahasa: Dyah Nuswantari Ed. 25. Jakarta: EGC
Prince A Sylvia. (1995). (patofisiologi). Clinical Concept. Alih bahasa : Peter Anugrah EGC. Jakarta.
Long, Barbara. C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Terjemahan: Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan. USA: CV Mosby
Hipospadia
Posted on Oktober 20, 2010 by ilmubedah
Hipospadia merupakan kelainan abnormal dari perkembangan uretra anterior dimana muara dari uretra terletak ektopik pada bagian ventral dari penis proksimal hingga glands penis. Muara dari uretra dapat pula terletak pada skrotum atau perineum. Semakin ke proksimal defek uretra maka penis akan semakin mengalami pemendekan dan membentuk kurvatur yang disebut “chordee”.
Pada abad pertama, ahli bedah dari Yunani Heliodorus dan Antilius, pertama-tama yang melakukan penanggulangan untuk hipospadia. Dilakukan amputasi dari bagian penis distal dari meatus. Selanjutnya cara ini diikuti oleh Galen dan Paulus dari Agentia pada tahun 200 dan tahun 400.
Duplay memulai era modern pada bidang ini pada tahun 1874 dengan memperkenalkan secara detail rekonstruksi uretra. Sekarang, lebih dari 200 teknik telah dibuat dan sebagian besar merupakan multi-stage reconstruction; yang terdiri dari first emergency stage untuk mengoreksi stenotic meatus jika diperlukan dan second stage untuk menghilangkan chordee dan recurvatum, kemudian pada third stage yaitu urehtroplasty.
Beberapa masalah yang berhubungan dengan teknik multi-stage yaitu; membutuhkan operasi yang multiple; sering terjadi meatus tidak mencapai ujung glands penis; sering terjadi striktur atau fistel uretra; dan dari segi estetika dianggap kurang baik.
Pada tahun 1960, Hinderer memperkenalkan teknik one-stage repair untuk mengurangi komplikasi dari teknik multi-stage repair. Cara ini dianggap sebagai rekonstruksi uretra yang ideal dari segi anatomi dan fungsionalnya, dari segi estetik dianggap lebih baik, komplikasi minimal, dan mengurangi social cost.
Insidens
Hipospadia terjadi 1:300 kelahiran bayi laki-laki hidup di Amerika Serikat. Kelainan ini terbatas pada uretra anterior. Pemberian estrogen dan progestin selama kehamilan diduga meningkatkan insidensinya. Jika ada anak yang hipospadia maka kemungkinan ditemukan 20% anggota keluarga yang lainnya juga menderita hipospadia. Meskipun ada riwayat familial namun tidak ditemukan ciri genetik yang spesifik.
ANATOMI
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari buli-buli melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani.9
Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dan sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Uretra pars anterior, yaitu uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis, terdiri dari: pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikulare, dan meatus uretra eksterna.
2. Uretra pars posterior, terdiri dari uretra pars prostatika, yaitu bagian uretra yang dilengkapi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea.
Embriologi
Pada embrio yang berumur 2 minggu baru terdapat 2 lapisan yaitu ektoderm dan endoderm. Baru kemudian terbentuk lekukan di tengah-tengah yaitu mesoderm yang kemudian bermigrasi ke perifer, memisahkan ektoderm dan endoderm, sedangkan di bagian kaudalnya tetap bersatu membentuk membran kloaka. Pada permulaan minggu ke-6, terbentuk tonjolan antara umbilical cord dan tail yang disebut genital tubercle. Di bawahnya pada garis tengah terbenuk lekukan dimana di bagian lateralnya ada 2 lipatan memanjang yang disebut genital fold.
Selama minggu ke-7, genital tubercle akan memanjang dan membentuk glans. Ini adalah bentuk primordial dari penis bila embrio adalah laki-laki, bila wanita akan menjadi klitoris. Bila terjadi agenesis dari mesoderm, maka genital tubercle tak terbentuk, sehingga penis juga tak terbentuk.
Bagian anterior dari membrana kloaka, yaitu membrana urogenitalia akan ruptur dan membentuk sinus. Sementara itu genital fold akan membentuk sisi-sisi dari sinus urogenitalia. Bila genital fold gagal bersatu di atas sinus urogenitalia, maka akan terjadi hipospadia.
ETIOLOGI
Penyebab pasti hipospadia tidak diketahui secara pasti. Beberapa etiologi dari hipospadia telah dikemukakan, termasuk faktor genetik, endokrin, dan faktor lingkungan. Sekitar 28% penderita ditemukan adanya hubungan familial. Pembesaran tuberkel genitalia dan perkembangan lanjut dari phallus dan uretra tergantung dari kadar testosteron selama proses embriogenesis. Jika testis gagal memproduksi sejumlah testosteron atau jika sel-sel struktur genital kekurangan reseptor androgen atau tidak terbentuknya androgen converting enzyme (5 alpha-reductase) maka hal-hal inilah yang diduga menyebabkan terjadinya hipospadia.
KLASIFIKASI
Klasifikasi hipospadia yang sering digunakan yaitu berdasarkan lokasi meatus yaitu :
1. Glandular, muara penis terletak pada daerah proksimal glands penis
2. Coronal, muara penis terletak pada daerah sulkus coronalia
3. Penile shaft
4. Penoscrotal
5. Perineal.
DIAGNOSIS
Diagnosis hipospadia biasanya jelas pada pemeriksaan inspeksi. Kadang-kadang hipospadia dapat didiagnosis pada pemeriksaan ultrasound prenatal. Jika tidak teridentifikasi sebelum kelahiran, maka biasanya dapat teridentifikasi pada pemeriksaan setelah bayi lahir.
Pada orang dewasa yang menderita hipospadia dapat mengeluhkan kesulitan untuk mengarahkan pancaran urine. Chordee dapat menyebabkan batang penis melengkung ke ventral yang dapat mengganggu hubungan seksual. Hipospadia tipe perineal dan penoscrotal menyebabkan penderita harus miksi dalam posisi duduk, dan hipospadia jenis ini dapat menyebabkan infertilitas.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu urethtroscopy dan cystoscopy untuk memastikan organ-organ seks internal terbentuk secara normal. Excretory urography dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya abnormalitas kongenital pada ginjal dan ureter.
DIAGNOSIS BANDING
1. Ambiguous Genitalia
2. Anomali Genitalia
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan hipospadia adalah dengan jalan pembedahan. Tujuan prosedur pembedahan pada hipospadia adalah:5,8
1. Membuat penis yang lurus dengan memperbaiki chordee
2. Membentuk uretra dan meatusnya yang bermuara pada ujung penis (Uretroplasti)
3. Untuk mengembalikan aspek normal dari genitalia eksterna (kosmetik)
Pembedahan dilakukan berdasarkan keadaan malformasinya. Pada hipospadia glanular uretra distal ada yang tidak terbentuk, biasanya tanpa recurvatum, bentuk seperti ini dapat direkonstruksi dengan flap lokal (misalnya, prosedur Santanelli, Flip flap, MAGPI [meatal advance and glanuloplasty], termasuk preputium plasty).
Obstruksi saluran cerna pada anak
Posted on Juni 17, 2010 by ilmubedah
Obstruksi saluran cerna
Obstruksi Usus atau obstruksi saluran cerna adalah terjadinya sumbatan pada saluran cerna. Berdasarkan etiologinya, obstruksi dapat disebabkan oleh kelainan mekanis dan ileus (tidak ada kelainan organik yang nyata). Secara umum gejala dari obstruksi usus halus adalah nyeri abdominal periumbilikal, muntah (berwarna hijau apabila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus, berwarna gelap jika obstruksi terjadi di bagian bawah distal usus halus), konstipasi/diare, serta kembung. Adapun gejala dari obstruksi usus besar antara lain nyeri di daerah pinggang, kembung di daerah pinggang dan pelvis, diare, konstipasi serta kembung (jarang ditemukan, kecuali pada kasus lanjut). Jika obstruksi disebabkan oleh tumor/keganasan maka gejalanya antara lain adanya kelemahan, ditemukan darah pada tinja, kehilangan selera makan serta penurunan berat badan.
Kelainan mekanis
1. Intususepsi
Intususepsi sering terjadi pada usia 3 bulan-6 tahun, di mana puncaknya adalah usia 5-10 bulan dan paling sering pada laki-laki. Intususepsi merupakan penyebab abdomen akut kedua paling sering pada kelompok usia ini. Pada intususepsi segmen proksimal usus mengalami invaginasi ke segmen distalnya, 95% terjadi di ileosekal. Sedangkan intususepsi ileoileal dan kolokolik jarang terjadi. Intususepsi ileoileal merupakan salah satu komplikasi bedah, misalnya pada penderita tumor Wilms.
Anak dengan kelainan intususepsi akan menunjukkan gejala seperti nyeri abdominal/kolik yang sangat berat sehingga terkadang anak menarik kedua tungkainya, gelisah, lethargy hingga shock. Muntah terjadi pada awal kelainan dan 30% kasus muntahan mengandung empedu. Tinja dapat mengandung darah dan mukus setelah 12 jam. Pada 20% kasus terdapat suatu triad klasik untuk intususepsi: nyeri kolik yang hebat, massa yang dapat teraba dengan palpasi, serta currant-jelly stools.
2. Atresia intestinal
Atresia merupakan suatu kelainan di mana terjadi absen/tidak terbentuknya suatu bagian/porsi dari saluran cerna, sehingga membentuk saluran yang buntu. Atresia dapat terjadi di duodenum, jejunum, ileum dan kolon. Atresia duodenum biasanya berhubungan dengan sindrom Down. Penyebab terjadinya atresia adalah gangguan vaskular pada saat embriologi (dalam uterus) terutama pada saat pembentukan saluran cerna, menyebabkan perfusi dan iskemik sehingga lumen saluran cerna tidak terbentuk dengan baik bahkan mengalami obliterasi. Selain itu gangguan/oklusi pada arteri mesenterika superior pada masa embriologi dapat menyebabkan atresia intestinal.
Pada neonatus, atresia yang paling sering terjadi adalah atresia jejunoilealis dan stenosis (okulsi intraluminal yang inkomplet).
Gejala yang timbul pada atresia antara lain distensi abdomen, muntah yang mengandung empedu, jaundice pada 32% pasien, serta riwayat polyhidramnion.
3. Hernia inkarserasi
Hernia inkarserasi merupakan hernia di mana isi dari kantung hernia tidak bisa dikembalikan ke rongga perut/asalnya. Hernia inkarserasi dapat berupa hernia inguinal, femoral atau umbilikal. Mayoritas hernia inguinal adalah hernia indirek. Pada hernia inguinal, inkarserasi terjadi pada 6-18% pasien dan dapat meningkat sampai 30% pada bayi berusia kurang dari 2 bulan. Sedangkan hernia femoral jarang terjadi. Adapun hernia umbilikal lebih jarang inkarserasi dan dapat menutup spontan setelah usia 5 tahun.
Gejala dari hernia inkarserasi yang dihubungkan dengan obstruksi intestinal antara lain: muntah yang mengandung empedu, distensi abdomen, konstipasi, massa yang teraba edema dan pucat di daerah inguinal (dapat menjadi eritematosa apabila terjadi strangulasi), dan demam apabila terjadi nekrosis dan perforasi.
4. Malrotasi dan volvulus
Malrotasi intestinal merujuk kepada kelainan embriologis, di mana usus tengah mengalami gangguan perputaran terhadap sumbu arteri mesenterika superior. Bentuk malrotasi dapat berupa nonrotasi, rotasi terbalik (situs inversus) dan gangguan fiksasi terhadap rongga peritoneal di sekitarnya. Malrotasi selalu terjadi bersamaan dengan gastrokisis, omfalokel, hernia diafragma dan sering dihubungkan dengan lesi lain seperti penyakit Hirschprung, intususepsi dan atresia (jejunum, duodenum, esofagus)
Pada anak-anak, malrotasi sering terjadi karena proses perputaran yang inkomplet dan ligamentum Treitz yang tidak terfiksasi dengan baik. Akibatnya volvulus (puntiran) terhadap arteri mesenterika superior dapat terjadi, menyebabkan obstruksi dan berujung pada nekrosis.
Gejala dari volvulus adalah muntahan yang mengandung empedu, gagal tumbuh kembang, terkadang nyeri kolik, feses yang menunjukkan hasil positif pada tes guaiac, serta darah yang keluar dari rektum.
5. Perlekatan (adhesi) pascabedah
Perlekatan pascabedah merupakan salah satu komplikasi setelah pembedahan, namun insidensnya berkurang semenjak ditemukannya prosedur laparoskopi. Pada perlekatan pascabedah dapat ditemukan adanya pita jaringan ikat yang menyebabkan perlekatan segmen saluran cerna. Perlekatan pasca bedah merupakan penyebab 7% dari obstruksi usus pada bayi dan anak. Onset dapat terjadi mulai dari 2 hari hingga 10 tahun setelah bedah, dan 50% di antaranya terjadi dalam waktu 3-6 bulan setelah bedah.
Gejala dari perlekatan pascabedah antara lain kram/nyeri perut, anoreksia, mual dan muntah.
6. Pankreas anular
Pankreas anular merupakan suatu kelainan embriologis di mana jaringan pankreas memutar mengelilingi duodenum pars descendens . Hal ini dapat bermanifestasi sebagai keadaan asimtomatis, namun dapat juga menyebabkan kompresi eksternal terhadap duodenum sehingga terjadi obstruksi sebagian atau total.
Gejala dari adanya pankreas anular adalah muntah yang mengandung empedu, distensi abdomen (proksimal dari obstruksi) dan ileus.
7. Hernia mesokolik
Hernia mesokolik merupakan kelainan yang dapat terjadi bersamaan malrotasi, di mana mesenterium kolon/duodenal yang tidak terfiksasi dengan sempurna membentuk kantung hernia dan memerangkap usus (kolon) yang sedang berotasi sehingga menyebabkan obstruksi. Hal ini dapat diperparah dengan inkarserasi dan strangulasi. Angka insidensnya tidak diketahui dengan pasti, namun kelainan ini cukup jarang terjadi.
8. Enterokolitis nekrotikans (NEC)
Enterokolitis nekrotikans dapat menyebabkan striktur pada bayi–bayi prematur dan paling sering terjadi di ileum dan kolon. Striktur tersebut dapat menyebabkan kematian pada 15% bayi berusia lebih dari 1 minggu yang memiliki berat lahir rendah (<1500 gram). Sedangkan pada yang lainnya striktur dapat terjadi 1-6 bulan setelah onset NEC. Penyebab NEC belum diketahui secara pasti, namun berbagai faktor diduga terlibat seperti: iskemik, hipoksia mukosa, invasi bakteri dan nekrosis intestinal.
Gejala dari NEC umumnya kurang spesifik, antara lain lethargy, suhu tubuh yang berubah-ubah, palpasi menunjukkan abdomen yang lemah dan eritema.
9. Volvulus sekal
Volvulus sekal merupakan kelainan yang jarang terjadi, akibat sekum yang tidak terfiksasi. Volvulus sekal terjadi akibat puntiran sekum, kolon ascendens dan ileum terminal. Gejalanya antara lain nyeri, distensi, konstipasi dan muntah.
10. Kista duplikasi
Kista duplikasi merupakan sekelompok kelainan yang jarang terjadi berupa duplikasi saluran cerna bagian tertentu dan s dapat terjadi di mana saja sepanjang saluran cerna, namun paling sering terjadi di ileum terminal. 85% kasus dapat dideteksi sebelum usia 2 tahun. Anak dengan kista duplikasi umumnya memberikan gejala sebagai berikut: distensi abdomen, adanya massa yang bisa teraba dengan palpasi, muntah, perdarahan dan frekuensi berkemih yang jarang.
11. Ileus mekonium
Ileus mekonium terjadi pada pasien dengan kistik fibrosis, di mana sekresi pankreas eksokrin yang tidak adekuat menyebabkan terbentuknya mekonium yang pekat. Akibatnya mekonium dapat melekat pada mukosa usus halus dan menyebabkan obstruksi. Gejala ileus mekonium antara lain muntah, kegagalan mengeluarkan mekonium dalam 48 jam pertama serta distensi abdomen. Dapat terjadi peritonitis.
13. Tumor/keganasan
Tumor dapat menyebabkan obstruksi dengan cara memblokade lumen saluran cerna.
Ileus
Ileus merupakan gangguan motilitas usus namun tidak ditemukan kelainan organik yang nyata. Pada anak ileus sering dikaitkan dengan pascabedah atau infeksi (pneumonia, peritonitis, gastroenteritis). Pada ileus sering ditemukan keadaan sebagai berikut: uremia, hipokalemia, asidosis, atau adanya penggunaan obat-obatan tertentu seperti loperamid (obat bersifat antimotilitas yang digunakan pada gastroenteritis). Ileus paralitik, disebut juga pseudo-obstruksi, merupakan penyebab utama obstruksi saluran cerna pada bayi dan balita. Penyebab ileus paralitik antara lain:
1. Kimia, elektrolit, atau gangguan mineral (seperti turunnya kadar potassium)
2. Komplikasi bedah intraabdominal
3. Cedera/penurunan suplai darah ke daerah abdominal
4. Infeksi intra abdominal
5. Penyakit ginjal dan paru
6. Penggunaan obat-obat tertentu, seperti narkotik
Pada anak, ileus paralitik mungkin terkait dengan bakteri, virus, atau keracunan makanan (gastroenteritis) yang sebagian diasosiasikan dengan peritonitis/apendisitis. Ileus dapat ditandai dengan adanya distensi abdomen disertai nyeri perut, bising usus pada onset dan gambaran air-fluid levels pada radiologi. Penatalaksanaan ileus dapat berupa dekompresi nasogastrik atau penggunaan agen prokinetik seperti cisapride atau erytrhomicin.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik (dengan melihat tanda dan gejala) serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dapat pemeriksaan radiologis atau pemeriksaan lain seperti penanda tumor dll. Pada pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya obstruksi adalah pencitraan dengan modalitas:
1. Abdominal CT-SCAN
2. Abdominal X-ray
3. Barium enema
Tatalaksana
Tatalaksana bergantung kepada jenis obstruksi dan derajat keparahannya. Apabila obstruksi bersifat parsial, maka akan diberikan cairan intravena sambil memantau apakah obstruksi tersebut sudah hilang dengan sendirinya. Apabila tidak, maka dilakukan tindakan bedah.
Selain itu penggunaan Nasogastric Tube untuk mengevakuasi cairan dan gas di saluran cerna, dengan demikian menghilangkan distensi dan muntah. Pada intususepsi dapat dilakukan enema (udara, barium atau gastrografin) untuk menghilangkan obstruksi. Pemasangan stent dapat dilakukan untuk membantu pengeluaran isi saluran cerna yang terganggu oleh obstruksi.
Tindakan bedah diperlukan apabila penggunaan tube tidak menghilangkan simptom, atau ditemukan adanya tanda-tanda kematian jaringan. Misalnya pada obstruksi akibat divertikulitis, penyakit Crohn, volvulus atau keganasan. Tindakan bedah dapat dilakukan dengan metode laparoskopi. Setelah pembedahan mungkin dilakukan pemasangan kolostomi/ileostomi untuk jangka waktu sementara maupun permanen.
Pneumothorak dan Hematothorak
Pneumothorak terjadi karena ada hubungan terbuka antara rongga dada dan dunia luar.
–>melalui luka didinding dada yang menembuspleura parietalis
–>melalui luka dijalan napas sampai menembus pleura visceralis
–>melalui luka dijalan napas sampai menembus pleura visceralis
Yang dapat mengakibatkan paru kolaps
Waktu inspirasi udara masuk sedang pada ekspirasi udara dlm dada tetap terjadi mekanisme ventil/tension.
Paru makin kolaps
Penanganannya Pneumothorak : Segera pungsi pada sic II sering dilanjutkan WSD.
Waktu inspirasi udara masuk sedang pada ekspirasi udara dlm dada tetap terjadi mekanisme ventil/tension.
Paru makin kolaps
Penanganannya Pneumothorak : Segera pungsi pada sic II sering dilanjutkan WSD.
Hematothorak
Sering dijumpai disini perdarahan berasal dari arteri intercostalis dan jaringan paru
Dirongga dada dapat terkumpul banyak darah tanpa gejala menyolok
Kadang gejala dan tanda yang nampak anemis dan syok hipovolemik
Dirongga dada dapat terkumpul banyak darah tanpa gejala menyolok
Kadang gejala dan tanda yang nampak anemis dan syok hipovolemik
Tindakan :
- pasang infus
-transfusi
-pungsi /WSD
- pasang infus
-transfusi
-pungsi /WSD
Tamponade Jantung
Tertimbunnya darah pada cavum pericardium.
Gejalanya: Tekanan arteri turun
Peningkatan tekanan vena leher
Bunyi jantung menjauh
Gejalanya: Tekanan arteri turun
Peningkatan tekanan vena leher
Bunyi jantung menjauh
Tindakan : -ABC
-Pasang infus
-Oksigen
-Pericardiosintesis
-Oksigen
-Pericardiosintesis
Posted on Juni 17, 2010 by ilmubedah
I.KONSEPDASAR
A.Pengertian
Trauma thorak atau Trauma Dada adalah semua ruda paksa pada thorak dan dinding thorak, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994). Pada Trauma Thorak bisa terjadi hematothorak atau Pneumothorak.
Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan terjadinya perdarahan.
Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.
A.Pengertian
Trauma thorak atau Trauma Dada adalah semua ruda paksa pada thorak dan dinding thorak, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994). Pada Trauma Thorak bisa terjadi hematothorak atau Pneumothorak.
Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan terjadinya perdarahan.
Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.
B. Anatomi
1. Anatomi Rongga Thoraks
Kerangka dada yang terdiri dari tulang dan tulang rawan, dibatasi oleh :
- Depan : Sternum dan tulang iga.
- Belakang : 12 ruas tulang belakang (diskus intervertebralis).
- Samping : Iga-iga beserta otot-otot intercostal.
- Bawah : Diafragma
- Atas : Dasar leher.
1. Anatomi Rongga Thoraks
Kerangka dada yang terdiri dari tulang dan tulang rawan, dibatasi oleh :
- Depan : Sternum dan tulang iga.
- Belakang : 12 ruas tulang belakang (diskus intervertebralis).
- Samping : Iga-iga beserta otot-otot intercostal.
- Bawah : Diafragma
- Atas : Dasar leher.
Isi :
- Sebelah kanan dan kiri rongga toraks terisi penuh oleh paru-paru beserta pembungkus pleuranya.
- Mediatinum : ruang di dalam rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya meliputi jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, oesophagus, aorta desendens, duktus torasika dan vena kava superior, saraf vagus dan frenikus serta sejumlah besar kelenjar limfe (Pearce, E.C., 1995).
- Sebelah kanan dan kiri rongga toraks terisi penuh oleh paru-paru beserta pembungkus pleuranya.
- Mediatinum : ruang di dalam rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya meliputi jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, oesophagus, aorta desendens, duktus torasika dan vena kava superior, saraf vagus dan frenikus serta sejumlah besar kelenjar limfe (Pearce, E.C., 1995).
C. Pemeriksaan Penunjang :
a. Photo toraks (pengembangan paru-paru).
b. Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup).
a. Photo toraks (pengembangan paru-paru).
b. Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup).
D. Penatalaksanaan
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock.
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock.
b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga “mechanis of breathing” dapat kembali seperti yang seharusnya.
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga “mechanis of breathing” dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga “mechanis of breathing” tetap baik.
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga “mechanis of breathing” tetap baik.
2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
- Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.
- Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.
- Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.
- Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.
d. Mendorong berkembangnya paru-paru.
- Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
- Latihan napas dalam.
- Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.
- Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
- Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
- Latihan napas dalam.
- Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.
- Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 – 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 – 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.
f. Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 – 20 menit selama 1 – 2 jam setelah operasi dan setiap 1 – 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
- Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
Perhatikan setiap 15 – 20 menit selama 1 – 2 jam setelah operasi dan setiap 1 – 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
- Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
- Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.
-
g. Perawatan “slang” dan botol WSD/ Bullow drainage.
1) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.
2) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
3) Penggantian botol harus “tertutup” untuk mencegah udara masuk yaitu meng”klem” slang pada dua tempat dengan kocher.
4) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
5) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung tangan.
6) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
g. Perawatan “slang” dan botol WSD/ Bullow drainage.
1) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.
2) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
3) Penggantian botol harus “tertutup” untuk mencegah udara masuk yaitu meng”klem” slang pada dua tempat dengan kocher.
4) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
5) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung tangan.
6) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
h. Dinyatakan berhasil, bila :
a. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b. Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
c. Tidak ada pus dari selang WSD.
a. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b. Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
c. Tidak ada pus dari selang WSD.
3. Pemeriksaan penunjang
a. X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
b. Diagnosis fisik :
a. Bila pneumotoraks <> 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues suction unit.
c. Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus dipertimbangkan thorakotomi
d. Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari 800 cc segera thorakotomi.
a. X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
b. Diagnosis fisik :
a. Bila pneumotoraks <> 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues suction unit.
c. Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus dipertimbangkan thorakotomi
d. Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari 800 cc segera thorakotomi.
4. Terapi :
a. Antibiotika..
b. Analgetika.
c. Expectorant.
a. Antibiotika..
b. Analgetika.
c. Expectorant.
E. Komplikasi
1. tension penumototrax
2. penumotoraks bilateral
3. emfiema
1. tension penumototrax
2. penumotoraks bilateral
3. emfiema
Diagnosa :
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
5. Resiko Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trau
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
5. Resiko Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trau
II. KONSEP ANALISIS
A. Pengkajian :
Point yang penting dalam riwayat keperawatan :
1. Umur : Sering terjadi usia 18 – 30 tahun.
2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu.
3. Pengobatan terakhir.
4. Pengalaman pembedahan.
5. Riwayat penyakit dahulu.
6. Riwayat penyakit sekarang.
7. Dan Keluhan.
1. Umur : Sering terjadi usia 18 – 30 tahun.
2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu.
3. Pengobatan terakhir.
4. Pengalaman pembedahan.
5. Riwayat penyakit dahulu.
6. Riwayat penyakit sekarang.
7. Dan Keluhan.
B. Pemeriksaan Fisik :
1. Sistem Pernapasan :
a. Sesak napas
b. Nyeri, batuk-batuk.
c. Terdapat retraksi klavikula/dada.
d. Pengambangan paru tidak simetris.
e. Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
f. Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani, hematotraks (redup)
g. Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang berkurang/menghilang.
h. Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
i. Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
j. Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.
1. Sistem Pernapasan :
a. Sesak napas
b. Nyeri, batuk-batuk.
c. Terdapat retraksi klavikula/dada.
d. Pengambangan paru tidak simetris.
e. Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
f. Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani, hematotraks (redup)
g. Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang berkurang/menghilang.
h. Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
i. Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
j. Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.
2. Sistem Kardiovaskuler :
a. Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
b. Takhikardia, lemah
c. Pucat, Hb turun /normal.
d. Hipotensi.
a. Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
b. Takhikardia, lemah
c. Pucat, Hb turun /normal.
d. Hipotensi.
3. Sistem Persyarafan :
- Tidak ada kelainan.
- Tidak ada kelainan.
4. Sistem Perkemihan.
- Tidak ada kelainan.
- Tidak ada kelainan.
5. Sistem Pencernaan :
- Tidak ada kelainan.
- Tidak ada kelainan.
6. Sistem Muskuloskeletal – Integumen.
a. Kemampuan sendi terbatas.
b. Ada luka bekas tusukan benda tajam.
c. Terdapat kelemahan.
d. Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
a. Kemampuan sendi terbatas.
b. Ada luka bekas tusukan benda tajam.
c. Terdapat kelemahan.
d. Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.
7. Sistem Endokrine :
a. Terjadi peningkatan metabolisme.
b. Kelemahan.
a. Terjadi peningkatan metabolisme.
b. Kelemahan.
8. Sistem Sosial / Interaksi.
- Tidak ada hambatan.
- Tidak ada hambatan.
9. Spiritual :
- Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
- Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.
10. Pemeriksaan Diagnostik :
a. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
b. Pa Co2 kadang-kadang menurun.
c. Pa O2 normal / menurun.
d. Saturasi O2 menurun (biasanya).
e. Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
f. Toraksentesis : menyatakan darah/cairan,
a. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
b. Pa Co2 kadang-kadang menurun.
c. Pa O2 normal / menurun.
d. Saturasi O2 menurun (biasanya).
e. Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
f. Toraksentesis : menyatakan darah/cairan,
Belum ada tanggapan untuk "KUMPULAN MAKALAH"
Post a Comment