Penilaian preoperative sebaiknya dilakukan untuk memantapkan hubungan dokter dengan pasien. Sangatlah penting untuk mendapatkan riwayat penyakit pasien dan melakukan pemeriksaan untuk menilai pembedahan dan kondisi medis pasien, pada khususnya untuk menilai derajat berat suatu penyakit sistemik dan resiko kematian perioperatif. Untuk kasus-kasus elektif, kita harus dapat memanfaatkan kesempatan untuk mengoptimalkan kondisi medis pasien untuk meminimalisasi resiko kematian perioperatif. Pasien harus diberi penjelasan singkat dan tepat mengenai prosedur, resiko tindakan, pertanyaan pasien harus dijawab dan (semoga) ketakutan dan kecemasan mereka dapat teratasi, tujuan penjelasan kepada pasien adalah untuk memberikan informasi yang benar dengan cara yang menenangkan. Jika perlu pengobatan preoperative dapat diresepkan.
SKEMA YANG DISARANKAN UNTUK PENILAIAN PREOPERATIF
Sangatlah penting untuk memiliki skema penilaian preoperatif agar semua hal yang penting tidak terlewatkan.
A. RIWAYAT
Riwayat dan catatan medis pasien sebaiknya digunakan untuk memperoleh informasi mengenai topik-topik bi bawah ini :
Kondisi Pembedahan
Informasi mengenai kondisi pembedahan dan operasi yang telah diajukan merupakan hal yang penting untuk memperoleh tilikan mengenai lama dan durasi operasi, perkiraan kehilangan cairan dan darah yang diharapkan, tipe incise dan kebutuhan mengenai analgesi intraoperatif dan postoperative. Jika operasi termasuk emergensi atau darurat,perut pasien mungkin dalam keadaan penuh. Penilaian mengenai status cairan dan respon terhadap resusitasi pada saat tersebut juga dibutuhkan.
Penyakit yang menyertai
Sebuah pendekatan sistemik harus diikuti untuk membuat penilaian mengenai penyakit yang menyertai. Sangat penting untuk megevaluasi apakah penyakit tersebut di bawah control dan apakah terdapat perubahan yang baru saja terjadi mengenai derajat penyakit maupun pengobatan. Sangat penting juga untuk menetapkan apakah diperlukan untuk merujuk ke spesialis maupun mengadakan penelitian lebih lanjut untuk evaluasi lengkap. Rujukan ke spesialis tidak untuk menentukan “kesesuaian” bagi anestesi, tetapi untuk menilai derajat beratnya penyakit serta untuk menetapkan apakah ada hal lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi pasien.
Penyakit jantung iskemi, asma, penyakit paru obstruktif kronis, hipertensi dan diabetes sering dijumpai pada pasien bedah dan berhubungan dengan resiko perioperatif yang signifikan (table 6.2) Relevansi dari hal tersebut lebih lanjut dibicarakan pada bab 7.
Toleransi terhadap Aktivitas
Hal ini dinilai dengan cara menentukan tingkat aktivitas maksimum pasien, dan dapat digunakan untuk memperkirakan hasil akhir secara keseluruhan. Hal tersebut dipengaruhi oleh usia namun merupakan indikasi yang baik untuk menilai cadangan cardiorespirasi. Penilaian ini sulit dilakukan apabila aktivitas terbatas karena arthritis. Pasien dengan keterbatasan aktivitas yang sedang (harus berhenti karena tidak mampu bernapas atau angina setelah berjalan dengan cepat dalam jarak 100 yard atau menaiki dua tingkat anak tangga) memerlukan penelitian yang lebih lanjut dan penilaian dari terapi saat ini. Pasien dengan keterbatasan aktivitas yang berat (sesak napas pada aktivitas minimal seperti berjalan beberapa yard, tidak dapat menaiki satu tingkat anak tangga tanpa berhenti) akan membutuhkan pengawasan invasive perioperatif dan mendaftar HDU/ICU postoperasi.
Pengobatan
Pengetahuan terhadap dosis yang diperlukan, jadwal dan tipe pengobatan merupakan hal yang penting. Khususnya obat-obat yang bekerja pada :
§ Sistem kardiovaskular (antihipertensi, antiangina, antiaritmia)
§ Sistem pembekuan darah (antikoagulan)
§ Sistem endokrin (agen anti diabetic, steroid)
§ Tonus bronchomotor
§ Sistem saraf (antidepresan, antikonvulsan)
Beberapa pengobatan harus dihentikan penggunaannya (antikoagulan) atau memodifikasi dosis (insulin). Walaupun demikian, kebanyakan obat-obatan sebaiknya dilanjutkan sampai waktu operasi (khususnya obat-obat antihipertensi, anti angina) kemudian dimulai lagi secepatnya.
Masalah-masalah Yang Berhubungan Dengan Anestesi
Beberapa masalah yang berkaitan dengan pembiusan terdahulu pada pasien harus diketahui dari rekam medis pasien tersebut (selama pasien tidak menyadarinya) atau dengan pertanyaan langsung jika pasien masih ingat kejadiannya. Aspek-aspek berikut ini akan mempengaruhi manajemen preoperatif pasien :
§ Beberapa masalah yang berkaitan dengan airway management, khususnya jika pada proses pembiusan terdahulu terdapat kesulitan dalam proses laringoskopi-intubasi.
§ Respon terhadap kontrol nyeri dan beberapa efek opioid yang tak menguntungkan.
§ Nausea dan vomitus post operasi dan respon terhadap terapinya.
§ Masa pemulihan yang terlalu lama.
§ Perawatan di HDU / ICU yang tidak diharapkan sebelumnya.
§ Terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan atau reaksi terhadap obat seperti hipertermia malignan, apnoe karena pemberian suksinilkolin, dan reaksi anafilaksis.
Alergi / Reaksi Obat
Alergi atau reaksi hipersensitivitas lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan efek samping obat yang tidak diinginkan. Perbedaan diantara keduanya biasanya dapat diketahui dengan mengajukan pertanyaan spesifik kepada pasien. Manifestasi klinis pada kulit (urtikaria, eritema), bronkhospasme, kolaps kardiovaskular, dan / atau edema angioneurotik, harus dinyatakan sebagai reaksi alergi sampai dapat dibuktikan lain. Berlainan dengan agen anestesi, alergi terhadap antibiotik, plester perekat, lateks, spray dan jenis tertentu makanan penting untuk dicatat ; hal ini akan mempengaruhi pemilihan teknik anestesi (tabel 6.3). Alergi terhadap lateks akhir-akhir ini lebih sering terjadi (atau mungkin lebih umum dikenali). Riwayat terjadinya reaksi alergi setelah kontak dengan produk karet seperti kondom, kateter urin, dan sarung tangan operasi juga perlu diketahui. Terdapat juga reaksi silang terhadap beberapa jenis buah seperti buah kiwi. Dermatitis kontak setelah terpapar lateks biasa terjadi dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan akan terjadi reaksi anafilaksis. Banyak produk (kecuali sarung tangan bedah dan sarung tangan biasa non steril) tidak mengandung lateks.
Tabel 6.3. Alergi dan Implikasinya pada Anestesi
Alergi | Implikasi |
Antibiotik | Pemilihan antibiotik untuk anafilaksis |
Kerang, ikan, dan makanan laut lain | Reaksi silang dengan agen kontras dan protamine iv |
Kuning telur, kacang kedelai | Kemungkinan terjadi reaksi silang dengan propofol |
Anestesi lokal ester | Pemilihan agen |
Lateks | Sarung tangan yang tidak mengandung lateks, iv set, kateter, tracheal tube, perangkat monitor, dan alat lain |
Plester perekat | Penggunaan bermacam trypoallergic |
Riwayat Sosial / Kebiasaan
Riwayat kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan ketergantungan obat penting diketahui. Pada perokok, adanya batuk produktif dapat mengindikasikan pasien butuh terapi dan evaluasi lebih lanjut. Berhenti merokok selama > 12 jam akan menurunkan jumlah CO-Hb darah secara signifikan dan memperbaiki transport oksigen ke jaringan. Efek menguntungkan terhadap reaktivitas dan sekresi saluran napas tidak akan terlihat (dalam bentuk menurunnya komplikasi paru-paru) sampai 4 minggu berhenti merokok. Intoksikasi akut terhadap alkohol akan mengurangi kebutuhan terhadap anestesi dan dapat mencetuskan terjadinya hipotermia serta hipoglikemia. Penghentian konsumsi alkohol dapat menyebabkan agitasi, konfusi, hipertensi, palpitasi dan kejang. Penyalahgunaan obat stimulan merupakan predisposisi terjadinya aritmia dan konvulsi. Penggunaan stimulan dapat meningkatkan kebutuhan agen anestesi (peningkatan MAC). Penyalahgunaan opioid meningkatkan dosis agen anestesi yang dibutuhkan selama operasi.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Kepala, Leher, dan Jalan Napas
Pemeriksaan jalan napas harus dilakukan terhadap semua pasien yang akan menjalani proses pembiusan. Adanya deformitas yang nyata, derajat pembukaan mulut, rentang gerak cervical spine, devisai trakheal, lesi pada rongga mulut atau pada leher memiliki arti penting (tabel 6.4). Ukuran mandibula harus dinilai dengan mengukur jarak thyro-mental (jarak antara batas bawah mandibula ke thyroid notch dengan leher dalam posisi ekstensi penuh). Jika jarak ini < 6.5 cm, laringoskopi mungkin akan lebih sulit dilakukan. Tes lain yang dapat dilakukan untuk memperkirakan sulit atau mudahnya laringoskopi dan intubasi trakhea adalah klasifikasi Malampati (tabel 6.5). Penilaiannya dilakukan pada pasien dalam posisi duduk tegak. Pertama pasien diperintahkan untuk membuka mulutnya selebar mungkin, lidah dijulurkan keluar dan kemudian berkata ’aaaaahhh’. Struktur-struktur yang terlihat pada rongga mulut dicatat. Pada Malampati kelas 3 dan 4 intubasi akan lebih sulit dilakukan. Tetapi tes ini tidak begitu sensitif dan spesifik.
Tabel 6.4. Kondisi yang Berhubungan dengan Kesulitan Airway Mangement
Hidung | |
Deviasi Septum | Kesulitan dalam insersi nasotracheal tube, perdarahan |
Polip | Sama dengan diatas |
Mulut | |
Skar dan kontraktur pada wajah | Restriksi ketika membuka mulut |
Makroglosia | Kesulitan dalam memvisualisasikan laring saat laringoskopi |
Penonjolan gigi seri | Sama seperti diatas dan cenderung berbahaya |
Pertumbuhan gigi yang jelek | Gigi mudah tanggal |
Mahkota gigi | Proteksi dari bahaya |
Mandibula | |
Mandibula yang pendek atau tertarik ke belakang | Kesulitan dalam memvisualisasikan laring saat laringoskopi |
Masalah pada sendi temporo-mandibular | Kesulitan dalam membuka mulut, bisa terjadi perburukan gejala setelah manipulasi mandibula saat airway management |
Leher | |
Kontrsktur akibat luka bakar | Kesulitan dalam memvisualisasikan laring saat laringoskopi |
Skar pasca trakheostomi | Butuh tracheal tube dengan diameter yang lebih kecil |
Leher yang pendek dan gemuk | Kesulitan dalam laringoskopi |
Goiter / pembengkakan leher lainnya | Deviasi atau kompresi jalan napas atas |
Selulitis | Deviasi, kompresi, atau pembengkakan jalan napas atas |
Restriksi gerakan leher | Kesulitan dalam laringoskopi, petensial terjadi trauma |
Arthritis rheumatoid | Jika terdapa bukti adanya subluksasi sendi atlanto-aksial, atau munculnya kelainan neurologis saat gerakan leher – hati-hati dalam memfiksasi kepala setelah induksi dan selama intubasi |
Tabel 6.5. Klasifikasi Malampati
Kelas 1 : Dinding posterior faring, palatum mole, dan uvula terlihat jelas |
Kelas 2 : Uvula tertutup sebagian oleh lidah, dinding posterior faring dan palatum mole masih terlihat |
Kelas 3 : Hanya palatum mole yang terlihat, dinding posterior faring dan uvula tertutup seluruhnya oleh lidah |
Kelas 4 : Hanya palatum durum yang terlihat, dinding posterior faring, uvula, dan palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah |
Dada dan Prekordium
Pemeriksaan fisik jantung dan paru harus dilaksanakan sesuai dengan kondisi klinis pasien. Pada seluruh pasien lapang parunya harus di auskultasi untuk membuktikan respirasi normal.
Abdomen
Dimana distensi abdomen seharusnya ditulis karena signifikan dalam menggambarkan peningkatan resiko regurgitasi dan aspirasi pulmoner.
Neurologi
Status kesadaran, jika berubah, harus dicatat.juga tanda-tanda adanya masalah neurology (sebagai contoh hemiparesis atau neuropati) harus dicatat.Ini mungkin berguna jika gejala-gejala neurologi dilaporkan setelah dilakukan general atau regional anestesi.
Punggung (Tulang belakang)
Infeksi pada kulit adalah kontraindikasi untuk injeksi spinal atau epidural.Beberapa kelainan tulang belakang juga dapat digunakan untuk memprediksi kesulitan untuk melakukan prosedur ini dan berpotensi pada kerusakan neurology (karenanya merupakan kontraindikasi relatif).
Ekstremitas
Anggota gerak atas harus diperiksa untuk menentukan sisi yang tepat untuk kanulasi venosa. Jika blok lokal yang direncanakan, petanda-petanda anatomis yang khas harus diperiksa dan adanya infeksi kulit harus pula dicatat karena bisa mejadi kontraindikasi untuk local anestesi.
C. PEMERIKSAAN-PEMERIKSAAN
Pemeriksaan laboratorium rutin preoperatif sekarang diminimalisasi , Pemeriksaan sudah seharusnya disesuaikan dengan individu masing-masing pasien. The National Institute for Clinical Excellence yang membuat pedoman dan sebagian besar rumah sakit mengikutinya. Hal-hal berikut harus dijadikan sebagai petunjuk.
Hemoglobin
Pasien yang sehat yang akan menjalani pembedahan elektif dengan perkiraan kehilangan darah < 10% dari total volume darah tidak memerlukan penilaian hemoglobin.
Penilaian Hemoglobin diperlukan pada :
§ Neonatus < 6 bulan
§ Wanita > 50 tahun
§ Pria > 65 tahun
§ Penyakit Sickle Cell
§ Keganasan
§ Kelainan hematology
§ Kehilangan darah preoperative
§ Trauma
§ Malnutrisi
§ Penyakit Sistemik lainnya dan ASA 3 atau di bawahnya.
Ureum dan Elektrolit
Tidak diindikasikan pada pasien sehat yang akan menjalani operasi elektif.
Diindikasikan pada :
§ Pasien > 65 tahun
§ Penyakit Ginjal
§ Diabetes
§ Hipertensi
§ Penyakit jantung iskemik/vaskuler
§ Peyakit liver
§ Pasien dalam pegobatan digoxin, diuretic, steroid, ACE inhibitor,dan agen antiaritmia.
Koreksi yang cepat pada kelainan elektrolit sebaliknya dapat membuat pasien yang stabil menjadi bermasalah,seperti central pontin demielinisasi pada saat koreksi hiponatremi, dan aritmia pada saat koreksi hipokalemia.Bila mungkin, operasi seharusnya ditunda dan kelainan elektrolit dikoreksi secara perlahan-lahan (2-3 hari untuk hiponatremia)
Studi Pembekuan
Indikasi :
§ Penyakit Perdarahan yang sudah diketahui atau koagulopati
§ Terapi antikoagulan
§ Tranfusi darah untuk mengganti > 20% total volume darah
§ Infus koloid atau plasma pengganti > 20% total volume darah(totalvolume darah berkisar antara 70-80 ml/kg BB)
§ Bruit yang tidak bisa dijelaskan
§ Kehilangan darah/berkurangnya hemoglobin yang tidak bisa dijelaskan
§ Hipersplenisme
§ Penyakit liver
§ Gagal Ginjal
Elektrokardiogram (EKG)
Indikasi :
§ Pria > 40
§ Wanita > 50
§ Penyakit Kardiovaskuler
§ Penyakit Ginjal
§ Diabetes
§ Ketidakseimbangan Elektrolit
§ Aritmia
§ Pasien yang diterapi dengan antihipertensi, antiaritmia, dan antiangina.
Perubahan pada EKG ( dalam 3 bulan) harus dianggap signifikan dan perlu pemeriksaan lebih lanjut.
Foto Rontgen
Indikasi :
§ Penyakit dada
§ Penyakit kardiovaskuler
§ Perokok lama dengan gejala penyakit dada
§ Keganasan
Pada kondisi-kondisi di atas (dalam waktu kurang dari 3 bulan) Foto Rontgen cukup memuaskan kecuali jika ada perubahan gejala.
Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan lain mungkin diperlukan untuk penatalaksanaan suatu penyakit yang berbahaya, efektivitas suatu pengobatan, dan apakah pasien dalam kondisi optimum serta resiko-resiko yang ada pada pasien
Pemeriksaannya antara lain :
§ Test Fungsi Paru
§ Analisa Gas Darah
§ Echocardiografi
§ EKG
§ Enzim-enzim hepar (pada alkoholis, penyakit liver)
§ Gula Darah (Diabetes)
§ Fungsi Endokrin (hipo/hipertiroidisme)
§ Beberapa pemeriksaan juga diperlukan sebagai dasar untuk membandingkan preoperative dengan intra dan post operatif (misal Analisa Gas Darah)
D. MENILAI RESIKO ANESTESI
Penilaian terhadap resiko penting dalam hal :
§ Data kondisi medis
§ Terdapat persetujuan tindakan
§ Menyusun tahap tindakan yang sesuai
§ Menyiapkan keperluan selama operasi (monitor ketat, ICU)
Kondisi klinis dapat dinilai dengan klasifikasi status fisik ASA (tabel 6. 6). ASA kelas 4 atau lebih dan kebanyakan ASA kelas 3 tidak memenuhi syarat untuk pembedahan lama (satu hari) dan sering memerlukan monitor extra ketat termasuk setelah operasi. Kelas satu dan lima akan dijelaskan sendiri. Perbedaan antara kelas dua dan tiga serta kelas tiga dan empat tidak begitu tegas. Beikut contoh kelas 2, 3 dan 4 :
§ Kelas 2 : hipertensi terkontrol tanpa komplikasi
§ Kelas 3 : penyakit arteri koroner dengan angina
§ Kelas 4 : infark miokard dengan gagal jantung
Pada laporan kematian tahun 1999 NCEPOD melaporkan bahwa 84 % pasien dengan ASA kelas > 3. berbagai sistem skoring lain telah digambarkan untuk menilai resiko pasien dengan penyakit jantung, pernapasan atau sistemik dan hal ini dibahas pada bagian lain buku ini.
E. INFORMASI PADA PASIEN DAN PERSETUJUAN
Pasien mungkin takut, cemas atau khawatir terhadap tindakan bedah dan pembiusan sehingga informasi dan keterangan yang diberikan jangan tentang pembedahan (seperti prognosis bedah, luka operasi, bekas luka, cacat, keterbatasan pola hidup). Anestesi berhubungan dengan kecemasan meliputi kematian, kesadaran, nyeri selama operasi, nyeri setelah operasi, kehilangan kontrol, mual muntah. Coba periksa kecemasan ini dan tentramkan pasien :
§ Berikan keterangan dengan sabar
§ Coba realistis dengan resikonya tapi dengan cara yang bijak. Pasien mempunyai hak untuk tahu resiko utama (dengan angka kejadian lebih dari 1 %, pada tabel 6.7) dan resiko signifikan yang menyebabkan luka permanen
§ Terangkan apa yang akan dilakukan untuk mengurangi dan menghindari resiko
§ Gambarkan apa yang seharusnya diharapkan pasien (pemasangan kanul dan monitor) sebelum induksi anestesi dan saat pemulihan
§ Diskusikan pilihan cara anestesi (GA atau regional) dengan pasien
§ Diskusikan alternatif cara jika rencana awal tak bekerja (misal GA jika RA gagal)
Semua diskusi ini dilakukan sesederhana mungkin dengan bahasa pasien. Jumlah informasi yang diberikan tergantung pada keingintahuan pasien dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.
Tabel 6. 6 Klasifikasi ASA | |
Kelas 1 | Pasien sehat |
Kelas 2 | Penyakit sistemik ringan |
Kelas 3 | Penyakit sistemik berat dengan keterbatasan aktivitas |
Kelas 4 | Penyakit sistemik berat tak mampu beraktivitas dan mengancam nyawa |
Kelas 5 | Hampir mati, tak dapat diharapkan hidup dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi |
Jika prosedur dilakukan sebagai tindakan emergensi maka tanda ”e” ditambahkan pada kelas ASA |
Tabel 6.7 Komplikasi yang sering terjadi |
Regional anestesi |
sakit kepala (blok subarchnoid) |
perdarahan lokal |
cedera saraf |
efek partial |
General anestesi |
tenggorokan kering / luka |
suara serak |
cedera gigi |
mual muntah setelah operasi |
komplikasi lain sesuai penyakit sebelumnya |
Kanulasi pembuluh darah |
tidak nyaman |
hematoma |
thrombosis |
nyeri |
infeksi |
F. PERSIAPAN PREOPERASI PADA PASIEN
Pada operasi elektif
§ Dewasa puasa makan berat 6 jam sebelum operasi. Mereka boleh makan ringan pagi hari ketika operasi dijadwalkan siang
§ Anak dan balita puasa makan atau minum susu 6 jam sebelum operasi
§ Semua pasien tidak boleh minum 2 jam sebelum operasi
§ Bayi puasa ASI atau fosmula 4 jam sebelum operasi
Alasan puasa sebelum operasi yaitu untuk meminimalkan isi perut dan adanya hubungan resiko terjadinya muntah dengan aspirasi setelah induksi anestesi. Meskipun puasa cukup, beberapa pasien masih bersiko muntah dan terjadi aspirasi paru, pasien ini mempunyai kemampuan pengosongan lambung yang lambat atau penurunan tonus sfingter esofagus yang lemah. (tabel 6.8 dan 6.9). profilaksis antacyd harus disiapkan dan intubasi trakea harus dilakukan dengan metode yang cepat. Pasien ini tidak cocok untuk pemasangan laryngeal. Pasien perlu pembedahan emergency dan dipertimbangkan mempunyai perut yang terisi penuh bahkan meskipun saat ini kelaparan. Jelas pasien ini mempunyai penyakit abdomen akut dan akan terjadi gastric stasis. Namun stasis dapat juga terjadi akibat cemas, nyeri dan analgesik narkotik.
PREMEDIKASI
Hal ini jarang digunakan pada dewasa kecuali ada indikasi spesifik. Premedikasi mungkin diperlukan :
§ Untuk mengurangi kecemasan pasien yang berlebihan
§ Mengurangi nyeri (bila perlu) untuk bergerak, posisi dan prosedur (kanulasi, analgesik regional) sebelum induksi anestesi
§ Indikasi spesifik seperti profilaksis antacyd, trinitrat gliceryl
TABEL 6.8 Faktor yang berhubungan dengan penurunan tonus sphincter esophagus bawah |
- Kegemukan |
- Kehamilan (setelah trimester pertama) |
- Hiatus hernia |
- Penyakit reflek gastroesofagal |
- Distensi abdomen |
- Obat-obatan : atropine, glycopyrrolate, opioids, anestesi volatile |
TABEL 6.9 Faktor yang meningkatkan rata-rata pengosongan lambung |
Fisiologis |
- asam |
- makanan yang mengandung protein tinggi |
- kehamilan |
Patofisiologi |
- kecemasan (ansietas) |
- trauma |
- bedah |
- syok |
- nyeri |
- diabetes |
Obat-obatan |
- opioids |
- antikolinergik |
- antidepresan trisiklik |
Anak-anak sering diberikan obat-obatan premedikasi sedatif dan topikal krim anestesi lokal yang diaplikasikan pada kulit pada sisi kanulasi vena.
Benzodiazepin, opioids dan antikolinergik adalah ansiolitik tradisional.
Benzodiazepin
Temazepam 10-20 mg diberikan per oral 1-2 jam sebelum sedasi prosedur pembedahan dan amnesia tanpa memperpanjang sedasi setelah operasi. Diazepam 5-10 mg diberikan per oral 1-2 jam sebelum sedasi prosedur pembedahan, tapi masih dimungkinkan diperpanjang setelah pembedahan. Dalam ruang anestesi, midazolam intravena 1-3 mg menimbulkan amnesia dan sedasi.
Opioids
Indikasi utama untuk opioids adalah menghilangkan nyeri pre operasi (fraktur, akut abdomen). Morfin 5-10 mg intramuskuler 60-90 menit sebelum pembedahan adalah cukup. Opioids sering dikombinasikan dengan antiemetik (sebagai contoh cyclizine 50 mg).
Antikolinergik
Indikasi utama adalah mengurangi sekresi oral pada dewasa dan untuk mencegah bradikardi selama induksi pada anak-anak. Glycopyrrolate dapat digunakan pada dosis 0,2-0,4 mg intravena untuk dewasa dan 10-20 µg/kgBB untuk anak-anak.
Profilaksis untuk aspirasi pneumonitis
Dalam induksi anestesi reflek batuk hilang dan regurgitasi dari perut dapat diaspirasi ke trakea. Pemisahan aspirasi pneumonitis tergantung keasaman (pH) dari isi perut dan volumenya. Pasien yang terutama beresiko termasuk wanita hamil, begitu juga dengan hiatus hernia, reflek gastroesofagal, gangguan jalan napas, ileus dan kegemukan (lihat juga tabel 6.8 dan 6.9). Obat-obatan dapat digunakan untuk meminimalisasi sekret gaster dan volume isi gaster.
Histamin (H2) antagonis dan inhibitor pompa proton
Ranitidin 150-300 mg per oral atau 50-100 mg iv/im mengurangi keasaman dan volume isi gaster. Inhibitor pompa proton seperti omeprazole dapat digunakan sebagai alternatif.
Antasid
Antasid yang non partikulat seperti sodium sitrate 30-60 mg dapat diberikan segera sebelum induksi anestesi.
Prokinetik
Metoclopramide, suatu dopamin antagonis, dapat digunakan untuk meningkatkan pengosongan lambung, secara simultan meningkatkan tonus dari sphincter esofagal bawah. Ada sedikit bukti bahwa beberapa agen secara signifikan menurunkan resiko regurgitasi.
Belum ada tanggapan untuk "PENILAIAN PRE OPERATIF"
Post a Comment